Archive for the ‘Nasehat…’ Category

Sabar dan Menunggu dengan Yakin…

Posted: 30 November 2010 in Nasehat...

“Pemuda-pemudi begitu banyak hal yang ingin dicapai di usia kami yang masih muda, kesuksesan dalam pendidikan dan bekerja selalu berputar di kepala. Ada yang mencapai dengan mudah dan ada juga dicapai dengan berdarah-darah (eheheh).”

Sabar dan menunggu itu berbeda sayang. Tetapi dalam aplikasinya kedua hal itu tidak bisa kita pisahkan. Karena sesungguhnya dengan sabar kita menjalani orbit yang sudah menunggu untuk kita jalani. Menunggu dengan sabar dari hasil atau amalan yang sudah kita kerjakan bukan berarti PASIF dan LEMPEM. Tetapi menunggu di sini adalah dengan D.U.I.T(Doa Usaha iman*yakin Tawakal : terinspirasi dengan seorang pemudi nun jauh di sana *N.S.V). Menunggu dengan tanpa kesabaran, tanpa iman (yakin), bahkan tanpa usaha tidak membedakan kita dengan anak kecil yang disuapi makan terus, bahkan sampai dia kenyang pun terus disuapi hingga makanannya habis. Padahal dalam proses makan itu kita selain mencari kenyang (heheheh) juga menikmati proses nya, merasakan lunak atau kerasnya lauk pauk, dan nasi, merasakan manis pedas, pahit rasanya. Tetapi ketika kita sudah tidak bisa mengambil atau menikmati proses dalam perjalanannya kita tidak mendapatkan apa-apa selain hasilnya dan itupun jika kita mendapatkan hasilnya. Buuuuuuuuuuu…!!

Menunggu dengan tanpa D.U.I.T juga tidak menjadikan kita proaktif, sigap,dan produktif, yang ada hanya hasil semu dari apa yang kita tunggu. Mengapa iman menjadi hal penting dalam proses menunggu dan bersabar?? Yah karena iman yang menjadi keyakinan adari usaha dan doa, lalu ilmu lah yang menjadi dasar dari semua pengamalan dan praktek, Alquran pun sudah menjelaskan keutamaan ilmu , mencari ilmu dan mengamalkan ilmu. Kalau ilmu dunia menurut survei nya dalam tri wulan mengalami perubahan perkembangan yang cepat, khususnya ilmu Teknologi Informasi, berbeda jauh dengan ilmu agama yang terus menerus merosot. Merosot di sini bukan dari kwalitas atau kandungannya. Ilmu agama adalah POLL POLL nya ilmu ,apa yang di kandung dari agama adalah ilmu sepanjang masa illa yaumil qiyyamah. Merosot disini adalah tingkat penguasaan dan pemahamannya itu sendiri. Padahal pada hakekatnya ilmu agama adalah ilmu yang membimbing, ilmu yang memperingati kita untuk menjalani dan menuju dunia dengan jalan yang benar, tentunya sesuai tuntunan yang murni.

Sebaik-baiknya pembelaan agama itu adalah dengan mengkaji, mempelajari, memahami dan Aplikasi nya di dunia nyata yaitu mengamalkannya dengan benar. Al ilmi ba’da amal (Ilmu dulu baru ngamal/praktek). oleh karena itu sebagai generasi muda kita harus terus menerus koreksi di awal, koreksi di tengah, koreksi di akhir apa yang telah kita amalkan, saling ingat mengingati apa yang sudah kita kerjakan sudah benar atau belum. Jika sudah benar kita bisa tambah yakin dan bersyukur tetapi jika salah kita segera bertobat , memperbaiki kesalahannya dan mengambil hikmahnya.

Tempatkan porsi sebagai warga negara yang muda, cerdas, proaktif dan berbudi luhur. Tetapi tetap kita adalah pemuda-pemudi yang mempunyai kefahaman agama, dimana kita tahu apa yang kita pelajari,kita fahami dan amalkan. Sekalipun dalam proses perjalannya kita tidak mencintai proses tersebut, maka bersabarlah. Ketika kita bersabar dalam menjalaninya, maka di akhirnya kita akan mendapatkan kesuksesan (AMIIIIN…!) dan hasil yang kita cintai, walapun hasil itu berbeda dari apa yang kita harapkan (ngomong apalagi nulis emang gampang siih tapi dalam prakteknya sama-sama susah…ehehe).

Mengikuti perkembangan juga bukan sesuatu hal yang buruk JIKA dilihat dari efisiensi dan fungsionalitas waktu yang di gunakan. Jika perkembangan menjadikan kita pemuda-pemudi yang malas dan pemimpi unggul (bukan pemimpin looh), lalu dimana keutamaan pemuda-pemudi yang berilmu, berakhlakul qarimah dan mandiri?! Perkembangan itu diikuti agar menjadikan kita sebagai pemuda-pemudi yang berwawasan luas, lugas tetapi tidak NGASAL. Menjadikan taat dan berilmu sebagai senjata massal kita untuk terjun dalam perkembangan yang begitu cepat. Menjadikan kita terjaga dari perkembangan-perkembangan yang sudah kita ketahui HAK & BATIL sesuai tuntunan. Tetap sabar dan yakin bahwa semua sudah ada yang merencanakan, tetapi bukan hanya menunggu jalannya. Jalan dan hasilny tetap kita cari dengan Doa Usaha iman dan Tawaqal.

Alhamdulillah jazakumullohu khioron

Kisah Penghuni Surga Terakhir

Posted: 21 Oktober 2010 in Nasehat...

Bahwa Sahabat bertanya kepada Rasulullah saw: Wahai Rasulullah, apakah kami dapat melihat Tuhan kami pada hari kiamat? Rasulullah saw. bersabda: Apakah kalian terhalang melihat bulan di malam purnama?

Para sahabat menjawab: Tidak, wahai Rasulullah.

Rasulullah saw. bersabda: Apakah kalian terhalang melihat matahari yang tidak tertutup awan?

Mereka menjawab: Tidak, wahai Rasulullah.

Rasulullah saw. bersabda: Seperti itulah kalian akan melihat Allah. Barang siapa yang menyembah sesuatu, maka ia mengikuti sembahannya itu. Orang yang menyembah matahari mengikuti matahari, orang yang menyembah bulan mengikuti bulan, orang yang menyembah berhala mengikuti berhala.

Tinggallah umat ini, termasuk di antaranya yang munafik. Kemudian Allah datang kepada mereka dalam bentuk selain bentuk-Nya yang mereka kenal, seraya berfirman: Akulah Tuhan kalian.

Mereka (umat ini) berkata: Kami berlindung kepada Allah darimu. Ini adalah tempat kami, sampai Tuhan kami datang kepada kami. Apabila Tuhan datang, kami tentu mengenal-Nya.

Lalu Allah Taala datang kepada mereka dalam bentuk-Nya yang telah mereka kenal. Allah berfirman: Akulah Tuhan kalian.

Mereka pun berkata: Engkau Tuhan kami.

Mereka mengikuti-Nya. Dan Allah membentangkan jembatan di atas neraka Jahanam.

Aku (Rasulullah saw.) dan umatkulah yang pertama kali melintas. Pada saat itu, yang berbicara hanyalah para rasul. Doa para rasul saat itu adalah: Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah.

Di dalam neraka Jahanam terdapat besi berkait seperti duri Sakdan (nama tumbuhan yang berduri besar di setiap sisinya).

Pernahkah kalian melihat Sakdan? Para sahabat menjawab: Ya, wahai Rasulullah.

Rasulullah saw. melanjutkan: Besi berkait itu seperti duri Sakdan, tetapi hanya Allah yang tahu seberapa besarnya. Besi berkait itu merenggut manusia dengan amal-amal mereka. Di antara mereka ada orang yang beriman, maka tetaplah amalnya. Dan di antara mereka ada yang dapat melintas, hingga selamat.

Setelah Allah selesai memberikan keputusan untuk para hamba dan dengan rahmat-Nya Dia ingin mengeluarkan orang-orang di antara ahli neraka yang Dia kehendaki, maka Dia memerintah para malaikat untuk mengeluarkan orang-orang yang tidak pernah menyekutukan Allah. Itulah orang-orang yang dikehendaki Allah untuk mendapatkan rahmat-Nya, yang mengucap: “Laa ilaaha illallah”.

Para malaikat mengenali mereka di neraka dengan adanya bekas sujud. Api neraka memakan tubuh anak keturunan Adam, kecuali bekas sujud. Allah melarang neraka memakan bekas sujud. Mereka dikeluarkan dari neraka, dalam keadaan hangus. Lalu mereka disiram dengan air kehidupan, sehingga mereka menjadi tumbuh seperti biji-bijian tumbuh dalam kandungan banjir (lumpur).

Kemudian selesailah Allah Taala memberi keputusan di antara para hamba. Tinggal seorang lelaki yang menghadapkan wajahnya ke neraka. Dia adalah ahli surga yang terakhir masuk. Dia berkata: Ya Tuhanku, palingkanlah wajahku dari neraka, anginnya benar-benar menamparku dan nyala apinya membakarku. Dia terus memohon apa yang dibolehkan kepada Allah.

Kemudian Allah Taala berfirman: Mungkin, jika Aku mengabulkan permintaanmu, engkau akan meminta yang lain.

Orang itu menjawab: Aku tidak akan minta yang lain kepada-Mu.

Maka ia pun berjanji kepada Allah. Lalu Allah memalingkan wajahnya dari neraka. Ketika ia telah menghadap dan melihat surga, ia pun diam tertegun, kemudian berkata: Ya Tuhanku, majukanlah aku ke pintu surga.

Allah berkata: Bukankah engkau telah berjanji untuk tidak meminta kepada-Ku selain apa yang sudah Kuberikan, celaka engkau, hai anak-cucu Adam, ternyata engkau tidak menepati janji.

Orang itu berkata: Ya Tuhanku! Dia memohon terus kepada Allah, hingga Allah berfirman kepadanya: Mungkin jika Aku memberimu apa yang engkau pinta, engkau akan meminta yang lain lagi.

Orang itu berkata: Tidak, demi Keagungan-Mu. Dan ia berjanji lagi kepada Tuhannya. Lalu Allah mendekatkannya ke pintu surga. Setelah ia berdiri di ambang pintu surga, ternyata pintu surga terbuka lebar baginya, sehingga ia dapat melihat dengan jelas keindahan dan kesenangan yang ada di dalamnya.

Dia pun diam tertegun. Kemudian berkata: Ya Tuhanku, masukkanlah aku ke dalam surga.

Allah Taala berfirman kepadanya: Bukankah engkau telah berjanji tidak akan meminta selain apa yang telah Aku berikan? Celaka engkau, hai anak cucu Adam, betapa engkau tidak dapat menepati janji!

Orang itu berkata: Ya Tuhanku, aku tidak ingin menjadi makhluk-Mu yang paling malang. Dia terus memohon kepada Allah, sehingga membuat Allah Taala tertawa (ridha).

Ketika Allah Taala tertawa Dia berfirman: Masuklah engkau ke surga. Setelah orang itu masuk surga, Allah berfirman kepadanya: Inginkanlah sesuatu! Orang itu meminta kepada Tuhannya, sampai Allah mengingatkannya tentang ini dan itu. Ketika telah habis keinginan-keinginannya, Allah Taala berfirman: Itu semua untukmu, begitu pula yang semisalnya

(HR Muslim no 267)

Tetangga oh Tetangga

Posted: 21 Oktober 2010 in Nasehat...

Pernah punya pengalaman membantu tetangga? Tentu, dan saya yakin beragam ceritanya. Banyak yang bertaut, tapi ada juga yang bersambung jadi masalah. Niat awalnya baik membantu, tetapi di seberang sana gayung tak bersambut. Malah saking pedenya mereka bilang, “Kalau nggak mau bantu ya nggak apa – apa. Kok nggak ikhlas, kelihatannya.” Su’udhonnya sudah nongol ke permukaan. Bagaimana tahu ikhlash nggaknya seseorang. Kayak yang Maha Kuasa saja tahu isi hati orang. Malaikat saja give up dalam hal keikhlashan ini.

Jika, niat baik dan amal sholih kita berjalan lancar – lancar saja Alhamdulillah. Itu yang diharapkan. Semoga pahala terus mengalir. Namun jika niat baik dan amal sholih kita menemui rintangan, bersabarlah. Karena darinya akan kita dapatkan pahala yang berlimpah. Besarnya pahala beserta besarnya cobaan, begitu Kanjeng Nabi SAW mengingatkan. Jadi tak usah kecil hati. Lancar  nggak lancar hadapi terus sampai tergapai niat baik kita itu. Intinya, langkah proaktif kita yaitu: jangan sakiti tetangga. Jangan sampai mulai duluan. Jangan terprovokasi. Ora ilok.

Beberapa waktu yang lalu istri saya mengeluh, katanya tetangga sebelah yang suka mbantu di rumah nggak bisa datang pagi – pagi. Alasannya masih ngantuk. Terlepas benar enggaknya alasan itu, saya sempat sewot juga. Masak sih! Dan terbersitlah dalam alam pikiran saya sangka jelek padanya. Orang ini pasti malas, masak jam 7 pagi masih tidur. Pantes saja nggak berkembang usahanya, wong kebanyakan tidur. Bagaimana nggak miskin terus, wong nglanggar dalil habis subuh tidur. Dan seterusnya, dan seterusnya bertubi – tubi persangkaan yang tidak baik terhadapnya. Kemudian saya sadar, istighfar – astaghfirullah. Ya Allah ampuni saya yang telah berprasangka jelek terhadap tetangga. Sebab semua itu hanya ilusi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Allah berfirman: Sesungguhnya persangkaan itu tiada bisa menolak sedikitpun terhadap kebenaran. (QS An-Najm: 28).

Yang tadinya saya mau marah, akhirnya sadar. Kepada istri saya bilang, “Ya sudah coba kita cari solusinya dengan jalan lain. Mungkin, setiap malam dia rajin bangun malam. Nggak seperti kita yang banyak terlewat. Dan selepas shubuh, sambil nunggu suami berangkat kerja, nggak ada yang dikerjakan karena memang nggak ada yang harus dikerjakan. Nggak perlu masak sebab nggak ada yang dimasak. Nggak perlu ngepel, nyapu dan bersih – bersih. Makanya dia manfaatkan waktunya untuk rebahan. Yang penting dia masih bisa bantu kita, sesuai waktu yang dia punya. Itu udah syukur pol.”

Rupanya apa yang menjangkiti saya serupa dengan yang menjangkiti pikiran istri saya. Dia sedikit mengundat niat baik dan usaha membantu kami kepadanya. Sebelum berlama – lama, saya cut pembicaraan itu. Saya bilang kepada istri saya, “Sebenarnya pikiran saya juga seperti pikiranmu. Persis. Plek. Tapi itu semua kan persangkaan. Nggak usah diperpanjang. Tetaplah jaga terus niat baik kita dan jangan sakiti tetangga, tetapi bantu dan baikilah tetangga kita. Insya Allah ada jalan lain sebagai gantinya.”

Selang beberapa saat dari kejadian itu, sepertinya Allah memberikan bukti akan persangkaan kami. Tetangga yang lain pun akhirnya buka suara, kalau memang si tetangga itu tiap pagi tidur sampai suaminya pulang berjualan. Alasannya karena memang tidak ada yang dikerjakan. Mau masak nggak ada yang dimasak. Masya Allah…….., tetapi kenapa ketika kita coba membantu dia menolak? Hal ini yang masih mengganjal di hati kami. Sebab tak lain wasiat Rasulullah SAW; ”Tidak termasuk orang iman, orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (Rowahu At-Thabrani di dalam Mu’jam Alkabir (12/154), Al-Baihaqi (10/3), Abu Ya’la (5/92)). Bagaimana nasib kami nanti? Dayustkah?

Akhirnya, di kesempatan yang pas, kami tanyakan kepada si tetangga perihal yang di atas tadi. Kenapa tidak mau kerja pagi – pagi dan menerima bantuan kami? Seperti disambar petir, jawaban yang kami dengar dari mulut tetangga kami itu. Katanya, ”Kami malu. Sebab Bapak dan Ibu sudah banyak membantu kami.”

Kami terdiam. Dua mata saya bertemu pandang dengan dua mata istri saya. Kayak pahlawan kesiangan. Untung masih menginjak bumi. ”Ya Allah, jangan kau siksa kami karena nikmat yang telah Engkau berikan kepada kami. Ya Allah tolonglah kami.” Rasa – rasanya kami belum banyak membantu. Tapi apa mau dikata. Kalau memang itu yang dirasa dan keluar dari hati nuraninya, kami tak bisa lagi mengganggunya. Hanya kepadanya saya titipkan pesan, ”Ya sudah kalau begitu, kalau Ibu butuh bantuan ngomong saja. Kalau kami mampu Insya Allah akan kami bantu.”

Pernah saya baca dalam sebuah cerita sufi yang sangat inspiratif bagi saya. Tersebutlah seorang sufi protes kepada Allah ketika dia melihat seorang peminta – minta di pingir jalan. Pakaiannya kumal, rambutnya kusut, bau dan berdebu di sana – sini. ”Ya Allah dimana keadilanMU. Kenapa engkau memberikan peran ini kepada pengemis itu?”

Tak lama terdengarlah sebuah suara sebagai jawabannya, ”Untuk itulah, Aku ciptakan kamu.”

Jadi memang tugas kita untuk berbuat baik kepada tetangga dan sesama. Ya berbuat baik, bukan yang lain.

Oleh: Faizunal Abdillah

Sumpahin atau Doain

Posted: 21 Oktober 2010 in Nasehat...

Assalamu ‘alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Belum lama ini, saya kehilangan notebook yang sangat penting artinya buat saya, diambil orang yang mengaku montir komputer …Dan akhirnya dengan pasrah saya istirja’ saja…. Tapi dalam hati saya, ada rasa kesal dan ingin nyumpahin orang ini, karena data yang sangat berarti buat saya hilang bersama notebook itu. Tapi saya teringat dengan istirja’ yang sudah saya ucapkan, bahwa saya menginginkan yang lebih baik. Jadi sumpah serapah terhadap orang yang mencuri itu tidak saya ucapkan. Dengan sedikit bergaya detektif, saya berusaha melacak, dan ternyata tidak berapa lama notebook saya dikembalikan oleh ibu si pencuri  ini, yang  mengetahui kelakuan anaknya yang ternyata residivis. Si ibu dengan hati besar menceritakan kelakuan anaknya itu… Akhirnya saya maafkan saja dan saya tidak melanjutkan masalah ini ke polisi, yang penting notebook  itu bisa kembali. Hikmahnya adalah ternyata istirja’ dan doa itu penting sekali saat kita tertimpa cobaan dan musibah maupun terdzolimi.

Bagaimana jadinya kalau setiap didzolimi, kita tidak mendoakan tapi hanya menyumpahi saja? Bisa jadi kejahatan akan terus bertambah, simpati tidak akan datang, bahkan permusuhan dimana mana. Atau kita berkata ‘terserah Allah untuk menghancurkan setiap orang yang mendzolimi kita.’ Kadangkala, diejek teman tidak cukup balas mengejek, ditambah memukul plus sebaris sumpah: “Saya sumpahin mulutmu sobek…” Waktu masih mahasiswa, di tempat kontrak  ada teman yang mengambil makanan di meja tanpa izin, si pemilik berucap: “Yang makan makanan saya perutnya buncit seumur hidup.” Pernah juga kita mendengar: “Saya sumpahin tertabrak kereta itu orang,” dari mulut orang yang baru saja kecopetan. Ketika didzalimi, kemudian kita menangis dan meminta bantuan Alloh: “Ya Alloh, hukumlah seberat-beratnya orang ini…” Cerita lain, “dia sudah menyakiti saya selama bertahun-tahun, kebahagiaan saya adalah kalau melihat dia sengsara seumur hidup…” Waduuuh…ngeri amattt…

Bagaimana Rasulalloh SAW menyikapi saat dia didzolimi? Seandainya Rasulalloh berkata, “Terserah…” ketika Malaikat menawarkan diri untuk membalikkan gunung untuk ditimpakan kepada masyarakat Thaif yang telah menolak, menghina dan mendzalimi Rasulalloh SAW dan para sahabatnya, mungkin tidak ada orang beriman dari kota Thaif, dan cerita selanjutnya pun akan berbeda. Justru saat itu Rasulalloh SAW melarang malaikat menghancurkannya, bahkan mendoakan orang Thoif itu ”Mudah-mudahan akan terlahir dari mereka keturunan yang sholeh” dan ternyata benarlah, banyak pejuang Islam lahir dari penduduk  Thaif yang menganiayanya.

Kalau Muhammad Rasulalloh SAW kecewa dan marah, dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah dan malaikat-Nya untuk memberikan ganjaran yang setimpal – atau seberat-beratnya – kepada para penduduk yang membenci dan mencederainya, maka sejarah tentang keteladanan Muhammad SAW tidak akan terukir indah. Sebab segala apa yang dilakukan Rasulalloh, sejak dari kecil hingga besar, mulai dari diamnya, kata-katanya, duduk, berdiri dan jalannya, serta gerak-gerik sekecil apapun adalah kisah-kisah indah yang tak terpisahkan.

Misalkan masyarakat Thaif benar-benar musnah setelah ditimbun gunung atas seizin Rasulalloh, dan masyarakat di kota-kota lainnya melihat apa yang terjadi di Thaif itu, mungkin mereka yang sebelumnya terpesona dengan ajaran Islam akan mundur dan lari dari Islam. Yang semula memuji akhlak Muhammad SAW, akan mencibir dan tak lagi mau menjadi pengikutnya, menyelami dan mengamalkan ajarannya yang terkenal. Karena kemuliaan hati dan akhlaknya itu tak sedikitpun Muhammad SAW marah, apalagi menaruh dendam atas penolakan dan penghinaan yang diterimanya. Padahal, kalau ia mau, orang yang meludahinya bisa saja tiba-tiba tidak bisa bicara, atau putus lidahnya. Kemudian orang yang menghina mulutnya penuh borok yang tak kan pernah sembuh seumur hidup. Batu yang diarahkan ke dirinya berbalik mengenai yang si pelempar, yang menendang kakinya lumpuh, bahkan sekadar memeloti saja bisa buta.

Muhammad SAW bisa bilang: “Ya Alloh, dia mengejek saya, cabut nyawanya sekarang” maka matilah orang itu. Bisa juga Muhammad SAW berdoa: “Ya Alloh, siapapun yang menolak saya, putuskan rezekinya,” atau “Orang ini tak menerima ajaran Islam, bahkan menghasut orang lain untuk menolaknya, buatlah ia miskin ya Alloh.” Atau setidaknya menyerahkan sepenuhnya kepada Alloh, “Terserah Engkau ya Alloh akan ditimpakan musibah jenis apa pada mereka yang telah menghina agama-Mu…” Tapi fasilitas itu tidak diminta oleh Muhammad SAW. karena ia tahu masyarakat akan semakin menolak dan membencinya. Dakwah Rasulalloh SAW justru berhasil dengan kemuliaan akhlak dan tutur kata. Keindahan perilaku Muhammad SAW berbuah manis dengan diterimanya Islam di kemudian hari.

Kita yang didzolimi harus ingat bahwa doa orang yang didzolimi tidak ada batas, bisa langsung terijabah. Hati-hati dengan doa yang diucapkan ketika kita marah dalam keadaan terdzolimi, perselisihan yang semestinya bisa diselesaikan dalam waktu beberapa hari, bisa berkepanjangan akibat sumpah dan doa buruk dari kita. Rasulullah mencontohkan dua hal: maafkan dan doakan untuk kebaikannya. Tidak perlu merasa rugi mendoakan kebaikan untuk orang yang mendzolimi kita, Insya Allah kita mendapatkan lebih banyak kebaikan dari yang ia terima. Semoga kita bisa meneladani Rasulalloh SAW saat kita terdzolimi. Amin.

Wassalamu ‘alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

By : Tito  Irawan

Mriang…

Posted: 21 Oktober 2010 in Nasehat...

Menerima nasehat itu gampang – gampang susah. Gampangnya kalau hati lagi senang, yang nasehat orang yang diharapkan dan topiknya pas dengan yang dibutuhkan. Rasanya seperti menerima durian runtuh. Walau kata yang diomongin itu nyakitin, tetap berlapang dada bisa menerima. Senyum pun terus mengembang, mengalir deras menuju hati yang terdalam. Nancep. Tak merasa disakiti. Tak merasa dikeneki. Pokoknya eunak pol, melebihi sego liwet – jangan terong. Jamnya lewat pun masih semangat mendengarkan. Anteng. Adem. Penginnya lagi dan lagi.

Di sisi lain, ada orang yang susah menerima nasehat. Segala yang diomongkan terasa nggak pas terus. Ibarat sayuran kurang garam. Anyep. Kata – kata jadi hambar. Tak berkenan. Begini salah, begitu juga salah. Yang lain pada ketawa, eh dia malah sinis. Cengar – cengir dongkol. Waktu sekana gak abis – abis. Kenapa? Sebabnya bisa bermacam – macam. Bisa lagi bokek. Bisa juga emang lagi banyak masalah. Nggak suka dengan yang nasehat. Lagi capek berat, nggak ingin diganggu. Maunya istirahat total, tapi disuruh ngaji. Sakit hati. Ngambeg. Kenekan. Lagi berantem dengan pasangannya. Tidak sabar dan berpikir hal yang lain di waktu yang bersamaan. Dan masih banyak lagi sebab lainnya.

Dua gambaran di atas adalah ilustrasi umum kondisi para pendengar  -pencinta nasehat dalam menerima nasehat yang dilakukan dengan cara oratoris. Maksudnya yang ngomong satu yang mendengarkan orang banyak. Atau nasehat dari atas ke bawah – top down – single show. Situasi yang seperti ini, lebih menguntungkan dan lebih enak ketimbang apa yang saya sebut sebagai nasehat pribadi: antar pribadi – orang per orang. Ternyata, budaya kita belum menunjukkan sikap yang dewasa dalam menerima maupun memberikan nasehat personal ini.  Walau sudah jelas berbuat salah, kadang mulut tidak mau diam. Ketika dinasehati, masih saja nerocos memberikan pembelaan.  Kadang yang nasehat malah terbalik menjadi yang dinasehati. Akibatnya, banyak orang yang memilih diam, daripada nanti malah membuat “keributan”. Paling cuma melaporkan kepada yang berwenang. Hal seperti ini tidak salah. Hanya perlu pengukuhan agar kita bisa benar – benar menikmati perintah Allah watawashou bil haq dan watawashou bish-shobr dengan sebenar – benarnya.

Pengalaman kecil pernah saya alami. Suatu ketika, pada suatu waktu, saya pernah ditungguin seseorang untuk dinasehati. Saya tidak pernah merasa melakukan kesalahan, tetapi ada yang menganggap saya melakukan hal yang aneh dan perlu diluruskan. Ketika saya mulai salam saya agak kaget, karena orang itu sudah menunggu dengan wajah angkernya persis menghadap wajah saya. Wajah ketemu wajah. Selesai salam, langsung si Bapak memberikan nasehatnya, “Mas, saya juga sering belum selesai baca tahiyyat. Tapi kalau imam sudah salam, maka saya juga terus salam. Nggak usah nunggu baca tahiyyat saya selesai”.

Setengah sadar, saya membalas nasehat itu dengan senyum dan diam saja. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut saya. Ucapan syukur pun lupa. Mungkin kalau di luar sholat, saya akan berargumenn; apa yang tidak pas dengan gerakan sholat saya? Setidaknya ucapan syukur, mau mengingatkan. Tetapi ucapan syukur apa? Bukankah yang saya lakukan benar? Saya memang sengaja salam, setelah imam selesai salam kanan dan kiri. Dan kadang memang agak terlambat. Demikian juga dengan gerakan sholat saya yang lain. Saya selalu menunggu imam telah sempurna melakukannya, baru saya menyusul. Nggak terburu – buru.

Mungkin semua sudah baca dan faham akan dalil – dalil di bawah ini. Tetapi prakteknya mungkin agak berbeda. Dan saya memilih imam sempurna melakukan sebuah gerakan, baru saya mengikutinya. Kalau misal imam takbir, maka saya menunggu sampai takbirnya sempurna, baru saya takbir. Kalau ruku’ juga begitu, imam sudah sempurna ruku’nya baru saya ruku’. Sujud pun sama, setelah imam sujud dengan sempurna baru saya sujud. Nah, salam pun begitu. Orang mungkin melihat saya sengaja menelatkan sholat, dan akhirnya saya mendapatkan hadiah itu. Tetapi apakah kita tidak ingat bahwa yang tidak boleh adalah mendahului imam?

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika dia takbir maka takbirlah kalian, jika dia membaca maka diamlah kalian, dan jika dia mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka katakanlah Allahumma Rabbana lakal hamdu.” (HR. Nasai)

Rasulullah SAW bersabda: “Tidakkah takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah mengubah kepalanya menjadi kepala keledai atau mengubah rupanya menjadi rupa keledai?”(Muttafaqun alaih)

Begitulah hidup. Pemahaman orang bisa bermacam – macam. Ada yang menilai (mempunyai pengertian) kalau tidak sama dengan dirinya itu salah. Tidak sama dengan umumnya itu keliru. Padahal tidak begitu seharusnya. Harus dilihat dengan jernih dasar pengamalannya. Jangan suudhon duluan. Dan lebih arif lagi jika kita mau menanyakan kenapa ia melakukannya? Kenapa memilihnya? Tapi itu tak penting, the show must go on.

Sebagai orang yang hidup dalam kesahajaan, pengin menjadi orang baik luar – dalam, dunia dan akhirat malahan, maka sebuah perkeling tetaplah perkeling. Tanpa melihat benar dan salah,  pun tidak bermaksud sombong – sombongan, setelah nasehat itu, ternyata badan saya pun meresponnya. Entah kenapa. Terus terang saya jadi kepikiran. Terngiang – ngiang terus dengan perkataannya. Saya buka kembali K. Sholah, saya deres kembali, untuk menemukan bahwa diri ini masih tetap di jalan sunnah. Masih meniti cinta Ilahi robbi. Dan akhirnya, di kesempatan lain, pun kuucap syukur kepadanya atas perkeling yang membuat saya mriang semalaman itu. Itulah indahnya hidup… jika semua berpikir hal – hal yang baik.

Oleh: Ustadz Fami