Archive for the ‘Nasehat…’ Category

Budi Pekerti

Posted: 7 Oktober 2010 in Nasehat...

Akhir-akhir ini tindakan tanpa tata krama bahkan tindakan di luar susila cenderung menjadi hal yang biasa. Tawuran pelajar, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan terlarang, perkosaan, pencabulan, pencurian, pembunuhan, penculikan, penjarahan, perampokan, perampasan, penodongan, dan tindakan-tindakan sejenisnya setiap hari menghiasi surat kabar dan televisi.

Pelaku tindakan asusila di atas tidak hanya terbatas pada para remaja, tetapi tidak sedikit kasus-kasus kejahatan semacam itu dilakukan orang tua, bahkan sudah banyak anak-anak di bawah umur yang terlibat dalam kasus-kasus seperti di atas. Kondisi yang demikian mencerminkan lunturnya nilai-nilai luhur budaya bangsa kita. Apabila tidak segera diadakan perbaikan, dapat dibayangkan bagaimana kondisi bangsa kita di tahun-tahun mendatang. Salah satu perbaikan adalah melalui pengajaran budi pekerti terutama pada anak-anak kita.
Kalau pengertian kamus besar bahasa Indonesia istilah budi pekerti diartikan sebagai tingkal laku, perangai, akhlak dan watak. Tingkah laku yang diikuti sebagai umat Islam sebaiknya mencontoh Nabi Muhammad SAW karena Alloh SWT telah berfirman:

“Dan Sesungguhnya Engkau [Nabi Muhammad SAW] Niscaya atas Budi Pekerti Yang Agung” <QS. Al Qolam 4>.

Oleh sebab itu sudah sepantasnya sebagai orang tua untuk mengajari anak-anak kita budi pekerti nya Nabi Muhammad SAW dari sejak dini, mengajari anak-anak untuk berbudi pekerti luhur diperlukan waktu dan contoh, karena menurut para ahli psikolog katanya anak adalah pencontoh yang ulung, yang kami alami juga begitu anak kami dengan mudah menyanyi dengan gaya artis pujaannya. Oleh karena itu kita sebagai orang tua harus memberi contoh budi pekerti yang luhur. Seperti yang dijelaskan Aisyah mengenai budi pekerti Nabi Muhammad SAW

Berkata Aisyah tidak ada siapa Nabi Muhammad orang berbuat jelek dan tidak termasuk golongan orang yang berbuat jelek dan tidak marah-marah dalam pasar dan tidak membalas dengan kejelekan pada kejelekan dan akan tetapi memaafkan dan berbuat baik” <HR. Termizi>

Sedangkan reward bagi mukmin yang dapat berbudi pekerti yang luhur, Alloh akan menyamakan derajatnya dengan orang ahli puasa dan ahli sholat sunnah

Sesungguh nya orang beriman niscaya menjumpai dia karena sebab baiknya budi pekerti derajatnya sama dengan orang ahli puasa dan orang ahli sholat sunnah” (HR. Abu Dawud)

oleh: Arief Budiarto

Batasan Lahan

Posted: 7 Oktober 2010 in Nasehat...

Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…

Banyak dari kita yang bingung. Bukan tidak tahu, tapi karena tidak bisa meninggalkan. Bahkan ada yang berujar, tak bisa hidup tanpa lahan. Benarkah? Mari kita kembali kepada pokok masalahnya – lahan. Apa dan bagaimana batasannya? Ini yang perlu diketahui dan dipahami agar kita tidak salah ucap dan salah sebut.

Dari Abu Huroiroh r.a., dia berkata,’Bersabda Rasululloh SAW; “Sebagian dari tanda bagusnya islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermakna baginya.” (Rowahu at-Tirmidzi, hadza hadistun hasanun (2317), Ibnu Majah (3976)).

Inilah salah satu atsar yang bisa dijadikan acuan dalam memahami masalah lahan. Yaitu manfaat dan tidaknya bagi kita. Imam an-Nawawi – (pensyarah Shohih Muslim) – memberikan penjelasan hadist ini sebagai berikut. Orang islam yang baik – sempurna adalah yang mampu meninggalkan segala hal yang tidak penting atau tidak berguna baginya berkenaan dengan urusan agama dan urusan dunia, baik berupa perkataan maupun perbuatan.

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir (I/587) dijelaskan, ketika Abu Dzar bertanya kepada Nabi SAW tentang Shuhuf Ibrohim, Nabi menjelaskan, di dalam Shuhuf Ibrohim disebutkan, “Barangsiapa menghitung perkataannya sebagai bagian dari amalnya, maka dia akan sedikit bicara, kecuali dalam hal yang bermakna baginya.” Di akhir riwayat – Abu Dzar berkata lagi, “Berikan aku tambahan!” Beliau SAW bersabda, “Cukuplah seseorang itu dianggap jahat apabila dia tidak mengerti akan dirinya sendiri dan berpayah – payah melakukan apa – apa yang tidak bermakna baginya. Wahai Abu Dzar, tidak ada akal yang lebih baik daripada pengaturan, tidak ada sikap wara’ yang lebih baik daripada pengendalian diri, dan tidak ada kebaikan melebihi kebaikan akhlaq.”

Jadi, untuk mengusir lahan, isilah setiap detik hidup kita dengan hal yang bermakna. Inilah resep terhindar dari lahan.

Selamat berjuang…!!!!!!

oleh: Faizunal Abdillah

Pujian

Posted: 6 Oktober 2010 in Nasehat...

Seorang teman berkomentar, katanya bangsa kita itu pelit pujian, akan tetapi suka obral makian. Pernyataan singkat itu benar – benar mengaduk – aduk sanubari saya. Ada semacam pergumulan dahsyat untuk menyanggah retorika tersebut dengan mengatakan tidak. Pernyataan itu hanya berlaku bagi mereka yang berpikir cupet – supen — alias sumbu pendek, istilah kawan saya dan banyak karena ada motif tertentu seperti frustasi. Namun saya sadar, tak ada gunanya menanggapi komentar itu. Lebih baik, instrospeksi diri, apakah benar saya juga termasuk di dalamnya? Tuas, berkoar – koar, tetapi ternyata saya ada di dalamnya, kan blai jadinya. Seperti kata pepatah kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.

Menapak tilas sedikit sejarah kehidupan saya, pernyataan di atas ada benarnya. Di keluarga saya, jarang – bahkan tidak pernah tepatnya – orang tua saya mengucapkan kalimat pujian. Yang banyak memang makian. Kalau benar itu sudah biasa, nggak perlu dipuji, tetapi kalau salah cacian yang akan menggema. ”Bodoh kamu, begitu saja tidak bisa,” – itu kalimat yang acap saya dengar ketika berbuat salah. Sampai sekarang pun atasan saya di kantor berkata serupa, walau dengan kasus yang berbeda tentunya. Jadi sudah kebal rasanya telinga ini mendengarnya. Artinya menganggap makian hal yang biasa. Tak lebih dari sekedar kata pemanis bicara.

Pujian memang penting dalam kehidupan ini. Asal tidak salah dalam memuji, pujian mempunyai efek yang dahsyat. Seperti seteguk air di gurun sahara. Atau seberkas sinar di kegelapan malam. Beberapa waktu yang lalu saya pernah merasakan hal itu. Ketika atasan saya mengubah jadual kepulangannya, ternyata semua penerbangan full – ludes. Kemudian hopeless, nggak akan bisa pulang sore itu padahal sudah di bandara. Lalu dia mengontak saya untuk segera mencarikan tiket lainnya. Alhamdulillah, berkat bantuan beberapa teman baik, akhirnya saya dapatkan 3 tiket penerbangan sore itu.. Tak lama sebelum dia terbang, dia menelepon saya untuk (hanya) bilang terima kasih (saja) atas bantuan tiketnya. Kalimat terima kasih itu begitu sempurna, melengkapi beberapa kalimat jelek yang telah saya terima sebelumnya. Membuat segar – bugar badan ini, melupakan segala kejelekan dan membuang segala dendam. Hanya satu ucapan terima kasih saja, apalagi kalau sering – sering saya terima.

Beruntunglah, kemudian Allah berkenan memberikan petunjuk kepada saya dalam islam. Ternyata, islam memberi tuntunan yang sempurna dengan apa yang disebut makarimal akhlaq. Tengoklah dalam rutinitas sholat, kalimat pembuka selalu diawali dengan pujian. Kalimat itu adalah Alhamdulillahi robbil alamiin – segala puji bagi Allah rob semesta alam. Setidaknya 17 kali kita diingatkan untuk mengucapkannya. Kemudian dalam nasehat selalu diawali dengan pujian juga kepada Allah. Setelah itu pujian kepada Nabi Muhammad SAW dan para perantara agama lainnya. Kemudian dalam atsar lainnya, Rasulullah SAW memberikan ajaran yang mulia mengenai cara – cara memuji ini.

Dari Anas r.a. dia berkata, “Orang – orang Muhajirin berkata; ‘Ya Rasululloh orang – orang Anshor mendapatkan seluruh pahala. Kami tidak melihat kaum yang lebih baik dermanya dengan harta yang banyak dan lebih baik pertolongannya dengan harta yang minim daripada mereka. Mereka telah mencukupi kita dalam urusan kebutuhan.’ Beliau menjawab;” Bukankah kalian memuji mereka dan mendoakan mereka?” Mereka menjawab, ‘Tentu.’ Beliau bersabda;”Itu cukup sepadan dengan kebaikan mereka itu.”( Rowahu Abu Dawud dan an-Nasai.)

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid r.a. dia berkata, “Rasululloh SAW bersabda;’Barangsiapa diberi suatu kebaikan, lalu dia berkata kepada pemberinya – Jazaakallohu khairo/Semoga Allah membalas kebaikan (yang lebih baik) kepadamu – maka dia telah sampai (sempurna) di dalam memuji.”(Rowahu at-Tirmidzi, dia berkata hadist hasan ghorib)

Dua hadits ini rasanya sudah cukup untuk menjadi dasar bagi praktik kehidupan yang penuh dengan pujian. Memuji dengan benar dan berpahala. Maka saya sering mempraktikan dalam kehidupan kecil rumah tangga saya. Habis makan saya mensyukuri istri, telah menyediakan makan, walau beli. Habis amal sholih, habis belanja, jalan – jalan dan kegiatan – kegiatan lain yang kami lakukan bersama. Kepada anak – anak, ketika mau ngaji, mau sholat, berbuat baik – nurut, saya puji dengan mensyukurinya. Dengan kata lain, statement teman kantor saya di atas dengan sendirinya telah terbantahkan.

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam memuji ini adalah harus tulus dari dalam hati, tidak berlebihan dan tidak mengandung kebohongan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut.

Dari Jabir r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda, “Barangsiapa diberi suatu pemberian lalu dia mempunyai sesuatu untuk membalasnya, maka hendaklah dia membalasnya dengannya. Jika tidak maka hendaknya dia memberi pujian karena barangsiapa yang memberikan pujian maka dia telah bersyukur, dan barangsiapa menyembunyikan maka dia telah kufur. Barangsiapa menghiasi dirinya dengan sesuatu yang bukan miliknya, maka dia seperti orang yang memakai dua helai pakaian kedustaan.” (Rowahu at_Tirmidzi (hadist hasan ghorib) dan Abu Dawud).

Di kehidupan, praktik Jazaa Kumullah Khairo (ucapan terima kasih yang artinya”semoga allah dapat memberikan/membalas yang lebih baik”)  adalah contoh yang sempurna. Tinggal kita mengembangkan dan mengahayati dengan sebenar – benarnya. Dengan ketulusan, kedalaman makna dan penghayatan lahir – batin, agar kalimat itu yoni adanya dan tidak berubah makna, menjadi hanya sekedar basa – basi saja. Atau bahkan penghias bibir semata. Nah, sudah sadarkah kita dengan praktek adi luhung semua itu? Atau, masih seperti statement teman kantor saya.

Oleh:Ustadz.Faizunal Abdillah

Senyum dan Diam

Posted: 6 Oktober 2010 in Nasehat...

Sebentar lagi, usia sudah mendekati kepala empat. Anak pun sudah empat. Berumah tangga sudah empat kuadrat alias 16 tahun. Banyak hal dan banyak pencapaian yang sudah saya dapatkan dalam kurun waktu itu. Dengan rasa syukur yang mendalam, kiranya inilah karunia terindah yang dianugerahkan Allah kepada saya. Tak berbanding dan tak tertandingi. Alhamdulillah, tak ada yang pantas terucap kecuali pujian itu. Tinggal bagaimana mengelolanya sehingga nikmat itu menjadi berkembang dan berdaya guna keberadaannya. Tidak hilang, tidak rusak, namun justru mengembang, berbuah, berbarokah. Netepi dalil lain syakartum – la’azidannakum.
Maka tatkala, saya ketemu dengan para yunior yang sekarang punya kedudukan dan posisi kunci, dengan kehidupan yang mapan, godaan mulai berdatangan. Obrolan pun berkembang pada arti hidup. Masih banyak orang yang mengukur pencapaian hidup dengan sebuah kedudukan. Makin tinggi kedudukan berarti semakin sukses. Semakin bermartabat, semakin berkelas. Mereka sering berkata, “Wah, seharusnya Mas ini sudah jadi manager. Apalagi usia sudah hampir kepala empat.” Menanggapi hal itu saya hanya tersenyum dan diam saja.

Lain lagi, godaan yang datang ketika saya ketemu dengan para senior. Secara tidak sengaja bincang – bincang pun mengarah pada ukuran kesuksesan hidup. Lain dengan para yunior yang masih banyak berlagak, para senior ini lebih bermutu, biasanya mereka bicara kesuksesan dari berbagai pandangan. Sebagian ada yang meneropong dari jenjang pendidikan. Secara tak sengaja mereka berseloroh, “Sudah rampung belum S3-nya?” Dengan polos dan lugunya, pernyataan itu saya balas dengan senyum dan diam saja.

Sebagian lagi ada yang memandang kesuksesan dari kaca mata kemandirian dan pemberdayaan. Mereka bilang, “Sekarang sudah usaha apa? Dan berapa orang pekerjanya?” Mendengar ucapan itu, saya pun tak kuasa, hanya tersenyum dan diam saja. Sebagain lainnya ada yang memandang kesuksesan hidup ini dari tingkat spiritualitasnya. Dengan enteng dan bangganya mereka berkata, “Sudah pergi ke Kulon belum?” Mendengar kalimat itu, saya pun hanya bisa tersenyum dan diam saja.

Lain lagi jika saya ketemu dengan para ustadz. Ketika mereka berbincang tentang al-ilmu, saya pun terdiam. Tatkala mereka bertanya, “Sudah sampai mana pencapaianmu?” Saya pun tersenyum menanggapinya. Banyak hal yang saya respon dengan senyum dan diam semata. Bukan karena mengiyakan atau menolak. Bukan pula membantah atau mendebat. Justru dengan tersenyum dan diam itulah, saya bisa melihat wajah nyata kehidupan dengan apa adanya. Semakin menenteramkan hati. Mempraktekkan panjangnya diam. Menerampilkan sodakoh senyuman. Dan menambah kedalaman syukur atas nikmat Allah yang telah diberikan kepada saya.

Ternyata dengan banyak senyum dan diam, semakin terkuak rahasia – rahasia hidup ini. Maksud – maksud yang tak terungkap, terkadang bisa tertangkap dengan sikap diam ini. Orang yang mau pamer, orang yang pengin dihormati, orang yang berniat baik, orang yang mau berbuat tidak baik, semua terekam dalam diam – sunyi dan senyum ini.

Pun halnya dengan diri sendiri. Dengan senyum dan diam, ternyata mampu mengobsesi diri menjadi lebih baik dan baik. Punya kekuatan dahsyat untuk berbuat baik untuk sesama dan sekitarnya. Memperbaiki diri dan terus berusaha baik selalu. Begitu elok ketika jiwa dan raga menyatu dalam kesatuan nuansa diam dan tersenyum ini. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (Rowahu Bukhory (5672), Muslim dalam bab al-Luqothoh (14), Abu Dawud (91), An-Nasa’i (401) At-Tirmidzi (809)). Dan firman Allah:”Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” An-Nisaa : 114.

Maka, saya pun malu sejatinya, jika harus menjawab setiap pertanyaan itu semua – apalagi dengan maksud mengimbangi lawan bicara. Sebab bagi saya firman Allah dalam Surat Ali Imron 139 sudah mencukupinya. Allah berfirman, “Janganlah kamu merasa hina, dan janganlah kamu bersedih hati, sejatinya  kamulah orang-orang yang paling mulia, jika kamu menjadi orang-orang yang beriman.” Apalagi yang mau dicari?

Tatkala kita sudah merasa berada di puncak, kemudian sekeliling kita ramai menawarkan dan membicarakan hal – hal yang banyak, berteriak, adakalanya baik dan kebanyakan angin lalu semata, tak lain sikap yang relevan adalah memberinya senyum dan diam saja. Sebab kalau direspon tak bakal cukup waktu. Tak bakal rampung urusannya. Termasuk ketika ada yang bertanya, “Sekarang istrinya sudah berapa?” Saya pun menoleh, menatap sang penanya, kemudian tersenyum dan diam saja.

Oleh:Ustadz.Faizunal Abdillah